Daftar Isi
Dalam sebuah proses pembelajaran, komponen yang turut menentukan keberhasilan sebuah proses adalah evaluasi. Melalui evaluasi orang akan mengetahui sampai sejauh mana penyampaian pembelajaran atau tujuan pendidikan atau sebuah program dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan sejak lama. Pada masa Yunani, evaluasi telah dilakukan walaupun masih dalam bentuk sederhana dan kurang profesional. Misalkan saja Socrates yang membuat evaluasi sederhana terhadap pelajaran yang ia berikan kepada murid-muridnya.
Pada tahun 1970 evaluasi baru menjadi suatu kajian yang diangkat sebagi studi tersendiri dan dianggap profesi yang profesional. Hal ini ditandai dengan banyak ahli yang memiliki perhatian pada bidang evaluasi diberbagai bidang kehidupan seperti pendidikan, sosial, serta kesehatan. Kemudian, perkembangan model evaluasi termasuk suatu fenomena yang menarik. Setelah Tayler mengemukakan model black box tahun 1949 belum terlihat ada model lainyang muncul ke permukaan. Lebih kurang 10 tahun lamanya, orang-orang yang melakukan kegiatan evaluasi belum menjadi studi tersendiri. Ketika itu, orang banyak mempelajari evaluasi dari psikometrik dengan kajian utamanya adalah tes dan pengukuran. Evaluasi lebih banyak diarahkan kepada dimensi hasil, belum masuk ke dimensi-dimensi lainnya. Oleh sebab itu, janganlah heran bila evaluasi banyak dilakukan oleh orang-orang yang –“terbentuk”dalam tes dan pengukuran.
Makalah ini akan menjelaskan mengenai salah satu model evaluasi pembelajaran yaitu Model Tyler, pemaparannya meliputi asal-usul berkembangnya evaluasi model Tyler, langkah-langkah pendekatan, kelebihan dan kekurangannya, serta contoh pembelajaran yang dapat menggunakan Model Tyler sebagai evaluasinya.
Secara harfiah kata evaluasi pendidikan berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam bahasa arab: al-Taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti; penilaian. Akar katanya adalah value; dalam bahasa Arab: al-Qimah; dalam bahasa Indonesia berarti; nilai. Adapun dari segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977): Evaluation refer to the act or process to determining the value of something. Menurut definisi ini, maka istilah evaluasi itu menunjuk kepada atau mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Banyak literatur yang memberikan pengertian tentang evaluasi ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi berarti penilaian (KBBI, 1996:272). Nurgiyantoro (1988:5) menyebutkan bahwa evaluasi adalah proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Dengan demikian, berdasarkan pengertian yang telah dikemukan di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi secara umum adalah suatu proses untuk mendiagnosis kegiatan belajar dan pembelajaran.
Evaluasi pendidikan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan pendidikan. Ada beberapa pengertian tentang pendidikan itu sendiri. Di dalam kamus tertulis:
Melakukan evaluasi pendidikan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.
Dari sedikit uraian tersebut dapat ditangkap bahwa sesuatu kegiatan perlu direncanakan apabila kegiatan yang bersangkutan memang dipandang penting sehingga apabila tidak direncanakan secara masak-masak boleh jadi akan menjumpai kesulitan dan hambatan. Sesudah selesai pelaksanaan, biasanya juga mengadakan evaluasi. Mungkin evaluasi tersebut tidak melalui prosedur yang sistematis dan mungkin juga tidak seketika.
Penyelenggaraan pendidikan bukan hal yang sederhana. Dampak pendidikan akan meliputi banyak orang dan menyangkut banyak aspek. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan harus dievaluasi agar dapat dikaji apa kekurangannya dan kekurangan tersebut akan dapat dipertimbangkan untuk pelaksanaan pendidikan pada waktu lain. Sebetulnya yang menjadi titik awal dari kegiatan evaluasi program adalah keingintahuan penyusun program untuk melihat apakah tujuan program sudah tercapai atau belum.
Dengan kata lain, evaluasi pendidikan dimaksudkan untuk melihat pencapaian target program. Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang dijadikan tolak ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan.
Apa perlunya mengadakan evaluasi pendidikan? Evaluasi pendidikan biasanya dilakukan untuk kepentingan pengambil kebijaksanaan untuk menentukan kebijaksanaan selanjutnya. Dengan melalui evaluasi pendidikan, langkah evaluasi bukan hanya dilakukan serampangan saja tetapi sistematis, rinci, dan menggunakan prosedur yang sudah diuji secara cermat. Dengan metode-metode tertenntu maka akan diperoleh data yang andal dan dapat dipercaya. Penentuan kebijakan akan tepat apabila data yang digunakan sebagai dasar pertimbangan tersebut benar, akurat, dan lengkap.
Ada empat macam kebijakan lanjutan yang mungkin diambil setelah evaluasi program dilakukan, yaitu sebagai berikut.
Model ini diambil dari pengembanganya yaitu Tyler. Dalam buku Basic Princeples of Curriculum and Intruction, Tyler banyak mengemukakan ide dan gagasannya tentang evaluasi. Model ini dibangaun atas dua dasar pemikiran. Pertama, evaluasi ditujukan pada tingkah laku peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan sesudah melaksanakan kegiatan pembelajaran (hasil). Dasar pemikiran yang kedua ini menunjukan bahwa seorang evaluator harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa yang terjadi setelah peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan bahwa perubahan yang terjadi merupakan perubahan yang disebabkan oleh pembelajaran.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pembelajaran. Istilah yang populer dikalangan guru adalah tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Model ini mensyaratkan validitas informasi pada tes akhir. Untuk menjamin valiaditas ini, maka perlu adanya kontrol dengan menggunakan desain eksperimen. Model tyler disebut juga model black box karena model ini sangat menekankan adanya tes awal dan tes akhir. Dengan demikian apa yang terjadi dalam proses tidak perlu diperhatikan. demensi proses ini dianggap sebagai kotak hitam yang menyimpan segala macam teka-teki. Menurut Tyler, ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan, yaitu menentukan tujuan pembelajaran yang akan dievaluasi, menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh kesempatan untuk menunjukan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan, dan menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku peserta didik.
Dalam pembelajaran, kita mengenal adanya tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Model evaluasi ini mengunakan kedua tujuan tersebut sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan. Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran telah tercapai. Model ini dianggap lebih praktis karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang logis antara kegiatan, hasil dan prosedur pengukuran hasil. Tujuan model ini adalah membantu guru merumuskan tujuan dan menjelaskan hubungan antara tujuan dengan kegiatan.
Jika rumusan tujuan pembelajaran dapat diobservasi dan dapat diukur, maka kegiatan evaluasi pembelajaran akan menjadi lebih praktis dan simpel. Disamping itu, model ini dapat membantu guru menjelaskan rencana pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan proses pencapaian tujuan. Instrumen yang digunakan bergantung pada tujuan yang ingin diukur, hasil evaluasi akan menggambarkan tingkat keberhasilan tujuan program pembelajaran berdasarkan kriteria program khusus. Kelebihan model ini terletak pada hubungan antara tujuan dengan kegiatan dan menekankan pada peserta didik sebagai aspek penting dalam program pembelajaran. Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi konsekuensi yang tidak diharapkan.
Model ini dapat dipandang sebagai model yang tertua didalam sejarah evaluasi dan telah banyak dikenal didalam evaluasi pendidikan. Sesuai dengan namanya model ini sangat menitik beratkan pada kegiatan pengukuran didalam proses evaluasi pendidikan. Pengukuran menurut model ini tidak dapat dilepaskan dari pengertian kuantitas atau jumlah. Jumlah ini akan menentukan besarnya (magnitude) objek, orang ataupun peristiwa-peristiwa yang dilukiskan daam unit-unit ukuran tertentu. Dalam bidang pendidikan model ini telah diterapkan dalam proses evaluasi untuk melihat dan mengungkapkan perbedaan-perbedaan individual maupun kelompok dalam hal kemampuan, minat, sikap mauun kepribadian (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Dalam hubungan dengan evaluasi program pendidikan di sekolah. Model ini menitikberatkan pada pengukuran terhadap hasil belajar yang dicapai siswa pada masing-masing bidang pelajaran dengan menggunakan tes (Dyer, 1960). Hasil belajar yang dijadikan objek evaluasi disini terutama adalah hasil belajar dalam bidang pengetahuan (kognitif) yangmencakup berbagai tingkat pengetahuan seperti kemampuan ingatan, pemahaman aplikasi dan sebagainya, yang evaluasinya dapat dilakukan secara kuantitatif-objektif dengan menggunakan prosedur yang distandarisasikan. Sehubungan dengan itu alat evaluasi yang lazim digunakan didalam model evaluasi ini adalah tes tertulis atau paper-and-pancil test. Secara lebih khusus lagi bentuk tes yag biasanya digunakan adalah bentuk tes objektif, yang soalnya berupa pilihan ganda, menjodohkan, benar salah dan semacamnya (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Secara lebih rinci menurut Thorndike & Robert. L Ebel (dalam Purwanto, 2009) Beberapa ciri dari model pengukuran adalah:
Tyler menggambarkan pendidikan sebagai suatu proses yang didalamnya terdapat tiga hal yang perlu dibedakan, yaitu tujuan pendidikan, pengalaman belajar, dan evaluasi hasil belajar. Evaluasi pada dasarnya dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai efektifitas kurikulum atau program pengajaran yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya. Mengingat tujuan-tujuan pendidikan itu mencerminkan perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan pada anak didik, maka yang paling penting dari proses evaluasi adalah memeriksa sejauh mana perubahan-perubahan perilaku yang diinginkan itu terjadi (Tyler, dalam Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Menurut model ini evaluasi tidak lain adalah usaha untuk memerika persesuaian antara tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi yang diperoleh berguna bagi kepetingan penyempurnaan program, bimbingan siswa dan pemberian informasi kepada pihak-pihak luar pendidikan mengenai hasil-hasil yang telah dicapai.
Langkah-langkah evaluasi yang perlu ditempuh didalam proses evaluasi menurut model yang kedua ini Tyler mengajukan 4 langkah pokok yaitu:
Karena setiap program pendidikan menyangkut tujuan yang hendak dicapai, akan lebih tepat jika hasil evaluasi tidak dinyatakan dalam bentuk keseluruhan test tapi dalam bentuk hasil bagian demibagian dari test yang bersangkutan sehingga terlihat bagian-bagian mana dari program pendidikan yang masih perlu disempurnakan karena belum berhasi mencapai tujuannya (Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Model evaluasi system pendidikan bertitik tolak darri pandangan bahwa keberhasilan suatu program pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, cirri anak didik maupun lingkungan sekitarnya, tujuan program dan peralatan yang dipakai, serta prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri.
Evalausi menurut model ini dimaksudkan untuk membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program yang sedang dikembangkan dengan sejumlah criteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada suatu deskripsi dan jajmen mengenai program yang dinilai tersebut.
Ada beberap hal di dalam isi pandangan di atas yang perlu digaris bawahi dan diuraikan lebih lanjut mengingat pentingnya hal-hal tersebut didalam konteks konsep evaluasi yang dianut oleh model ini.
Model ini diambil dari nama pengembanganya, yaitu Marvin Alkin (1969), menurut Alkin, evaluasi adalah suatu proses untuk menyakinkan keputusan, mengumpulkan informasi, memilih informasi yang tepat, dan menganalisis informasi sehingga dapat disusun laporan bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif. Alkin mengemukakan ada lima jenis evaluasi, yaitu:
Jika model measurement dan congruence lebih berorintasi pada evaluasi kuantitatif-terstruktur, maka model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif terbuka. Kegiatan evaluasi dihubungkan dengan learning milieu, dalam konteks sekolah sebagi lingkunagn material dan psikososial, dimana guru dan peserta didik dapat berinteraksi.
Tujuan evaluasi adalah mempelajari secara cermat dan hati-hati terhadap pelaksanaan sistem pembelajaran, faktor-faktor yang mempengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem dan pengaruh sistem terhadap pengalaman belajar peserta didik. Hasil evaluasi lebih bersifat deskriptif dan interpretasi, bukan pengkuran dan prediksi. Model ini lebih banyak mengunakan judgement. Fungsi evaluasi adalah sebagai input untuk kepentingan pengambilan keputusan dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan sistem pembelajaran yangs sedang dikembangkan. Objek evaluasi model ini mencakup latar belakang dan perkembangan sistem pembelajaran, proses pelaksanaan sistem pembelajaran, hasil belajar peserta didik, kesukaran-kesukaran yang dialami dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, termasuk efek samping dari sistem pembelajaran itu sendiri.
Sebagaimana model illuminatif, model ini juga menekankan pada pendekatan kualitatif-naturalistik. Evaluasi tidak diartikan sebagai pegukuran malainkan pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas dari berbagai perspektif orang-orang yang terlibat, berminat dan berkepentingan dengan program pembelajaran. Tujuan evaluasi adalah untuk memahami semua kompenen program pembelajaran melalui sudut pandang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, maka model ini kurang percaya terhadap hal-hal yang bersifat kuantitatif. Instrumen yang digunakan pada umumnya mengandalkan observasi langsung maupun tak langsung dengan interpretasi data yang impresionistik. Langkah-langkah kegiatan evaluasi meliputi observasi, merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek pengetahuan awal peserta didik dan mengembangkan desain atau model.
Pendekatan yang telah lama diterapkan dalam pembelajaran bahas antara lain ialah pendekatan tujuan dan pendekatan struktural. Kemudian menyusul pendekatan-pendekatan yang dipandang lebih sesuai dengan hakiokat dan fungsi bahasa, yakni pendekatan komunikatif.
Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan belajar mengajar, yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai. Dengan memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan itu dapat ditentukan metode mana yang akan digunakan dan teknik pengajaran yang bagaimana yang diterapkan agar tujuan pembelajarn tersebut dapat dicapai. Jadi, proses belajar mengajar ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan itu sendiri.
Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa, yang dilandasi asumsi bahwa bahasa sebagai perangkat kaidah, norma, dan aturan. Atas dasar anggapan tersebuttimbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa. Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu dititikberatkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup fonologi, morfologi, dan sintaksis dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting. Jelas bahwa aspek kognitif bahasa lebih diutamakan.
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yand dilandasi oleh pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Tampak bahwa bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaisah tetapi lebih luas lagi, yakni sebagai sarana untuk berkomunikasi. Ini berarti, bahasa ditempatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu fungsi komunikatif.
Dikemukakan oleh Ansyar (1989: 134) bahwa "evaluasi mempunyai satu tujuan utama yaitu untuk mengetahui berhasil tidaknya suatu program" Guru adalah orang yang paling penting statusnya adalah kegiatan belajar mengajar, karena guru memegang tugas yang amat penting, yaitu mengatur dan mengemudikan kegiatan kelas. Untuk membuat proses belajar mengajar lebih efektif maka tugas guru adalah menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk pembelajara. Untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif tersebut perlu dirancang program pengajaran. Berhasil tidaknya suatu program pengajaran, tentu tidak bisa diketahui begitu saja, tanpa adanya evaluasi program. Oleh karena itu evaluasi pendidikan perlu dilaksanakan oleh guru dalam rangka mengetahui seberapa jauh proram pengajaran telah berlangsung atau terlaksana, dan jika terlaksana seberapa baik pelaksanaan program tersebut. Pendek kata, evaluasi program dilaksanakan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari program pengajaran.
Ibrahim,Perencanaan Pengajaran.Jakarta:Rineka Cipta,2003
Drs.H.Abu Ahmadi, Psikologi Belajar.Jakarta:Rineka Cipta.2008
Prof.Drs.Anas Sudijono,Pengantar Evaluasi Pendidikan.Jakarta:Raja Grafindo Persada,2013
Prof.H.M.Sukardi,MS.,Ph.D.,Evaluasi Pendidikan.Yogyakarta:Bumi Aksara,2008
Prof.Dr.Suharsimi Arikunto.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta:Bumi Aksara,2011
Kamus Umum Bahas Indonesia